MEMBANGUN KAMPUS YANG MEMBANGUN MAHASISWA



“Dengan rahmat Allah-lah engkau Muhammad telah bersikap lemah lembut kepada mereka. Seandainya engkau berbudi kasar, tentulah mereka akan lari dari sekitar engkau. Oleh sebab itu, maafkanlah kesalahan mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka itu. Bermusyawaralah dengan mereka dalam beberapa hal atau urusan. Apabila engkau telah mempunyai keputusan yang mantap, berserah dirilah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang0orang yang berserah diri.”
(QS. Ali Imran : 159)

Dalam wacana pembaharuan, mahasiswa menempati posisi yang sangat dominan sebagai corong pergerakan, yakni gerakan yang bernafaskan amar ma’ruf nahi mungkar untuk kemaslahatan bangsa. Gerakan mahasiswa adalah legenda tersendiri dalam sejarah perjuangan indonesia. Sejak kehadirannya yang pertama kali di zaman pra kemerdekaan dengan mendirikan organisasi modern, sumpah pemuda yang telah menjadi tonggak lahirnya semangat kebangsaan, peristiwa Rengas Dengklok yang melibatkan mahasiswa dan pemuda demi lahirnya sebuah bangsa, gerakan mahasiswa ’66 yang menggulingkan rezim orde lama, hingga aksi penolakan terhadap rezim orde baru sejak tahun 1974 hingga memuncak tahun 1998 kemarin.
Dari sejarah emas ini, melekatlah berbagai macam sanjungan di tubuh mahasiswa. Mahasiswa tiang negara, agent of change, social control, buah hati orang tua, penegak kebenaran dan keadilan dan lain-lain yang kesemuanya diberikan masyarakat bagi mahasiswa. Namun ketika melihat realitas kekinian, sanjungan-sanjungan tersebut menjadi absurd ketika yang diperlihatkan mahasiswa justru negasi dari gelar yang diberikan. Mahasiswa lebih identik dengan tindakan anarki. Tawuran menjadi mata kuliah baru di tiap kampus. Aksi-aksi sosial yang niatnya memecahkan masalah justru menjadi masalah baru. Sebab dilakoni tanpa hati, lebih mengandalkan otot daripada otak. Sekedar melepaskan dendam sejarah (meminjam istilah Kuntowijoyo). Kecelakaan sejarah ini tidak serta merta menimpakan seluruhnya  kepada mahasiswa. Kitapun mesti menilai apa yang telah diberikan almamaternya kepada mereka.


Kecerdasan Moral, Aspek Pendidikan yang Terlupakan
Ditinjau dari segi demografis, mahasiswa umurnya berkisar 19 – 25 tahun. Mereka adalah bagai besi yang berpijar yang memerlukan bimbingan, naungan dan sentuhan-sentuhan dari seorang ibu yang lembut (almamater) yang disebut kampus. Ditinjau dari segi psikologis, mahasiswa adalah periode pancaroba, dari masa remaja dengan ‘sejuta’ mimpi ke masa dewasa yang tinggal ‘seribu’ mimpi. Sifat yang menonjol di masa ini adalah karakter mahasiswa yang penuh daya dobrak dan terjang, atau strum and drag, yang identik dengan sifat pemberontak, menurut  Charlotte Buchler, yaitu sifat yang dinamis, tetapi sering kali hantam kromo, berani tetapi sering kali pendek akal. Emosinya lebih sering muncul daripada rasio. Karakteristik mahasiswa yang demikian mestinya diketahui oleh ‘ibu yang lembut’ atau almamater. Karakter dinamis dan berani, akan menjadikan mahasiswa ibarat buah yang manis, bila dikendalikan dengan persepsi yang baik dari almamater. Dan sebaliknya, mereka ibarat buah yang pahit, sebagai produk almamater yang mengambil sikap bermusuhan dengan anaknya sendiri. Dari sinilah almamater hendaknya selalu bersikap lemah lembut terhadap mahasiswa, sehingga kampus bisa menjadi mediator yang memiliki suasana yang kondusif untuk berdedikasi kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Jika almamater memiliki wawasan sebagaimana yang digambarkan oleh ayat yang menjadi  headline tulisan ini, maka Insya Allah kampus akan menumbuhkan anaknya yaitu mahasiswa yang berkarakter membangun, yang bersikap positif pada perkembangan daya tindak,  sesuai dengan metode ilmiah dan metode profetik. Mahasiswa membangun ialah mereka yang berdaya pikir pembangun kekuatan penalaran dan akal yang kreatif dan inovatif. Mahasiswa membangun adalah mereka yang menghargai nilai-nilai dan norma-norma, mereka yang peka terhadap ketimpangan sosial dan berani untuk melakukan perlawanan pada segala bentuk ketidak adilan.
Untuk membangun mahasiswa, maka diperlukan usaha dan kegiatan almamater yang mencakup segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendidikan kampus hendaknya mampu membangun mahasiwa lewat aktivitas pikir dan dzikir. Fakultas fikir adalaha kancah pengembangan metode ilmiah sedangkan fakultas zikir adalah kancah pengembangan metode profetik, untuk kecerdasan moral yang seringkali terabaikan dalam proses pendidikan yang selama ini dipraktikkan. Dengan kedua fakultas ini, kampus tidak lagi menjadi wahan yang menyuburkan proses dehumanisasi dan diharmonisasi di kalangan mahasiswa maupun antar civitas academica. Melainkan yang terjadi suasana dialogis, musyawarah bersama untuk menyelesaikan masalah. Mahasiswa bukan lagi kanak-kanak yang mesti didikte tanpa perlu meminta pertimbangan mereka. Dengan ini akan terbentuk suasana pendidikan yang sesungguhnya, yakni keindahan proses belajar-mengajar dengan pendekatan manusianya, atau man centered , dan bukan sekedar memindahkan otak dari kepala ke kepala atau mengalihkan mesin ke tangan. Pendididkan menjadikan mahasiswa mampu menaklukkan masa depannya dan daya pikir, zikir, dan daya ciptanya.
Penutup
Dari uraian singkat di atas, kita berharap, bahwa dalam kampus di era Bill Gates ini, terwujud interaksi yang dinamis antara mahasiswa (anak) dengan alamamater (ibu bapak) dan masyarakat (lingkungan), penuh humanis dan harmonis sehingga menjadi rahmat bagi sekalian alam. Kampus yang demikian akan mampu membangun karakter mahasiswa yang bertakwa kepada Allah, cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur, peka sosial dan siap melawan berbagai ketimpangan. Almamater yang demikian akan membuat mahasiswa mengutip ucapan Muhammad Iqbal tentang gurunya, “ Kau menghembuskan angin padan kuncupku dan akupun mekar menjadi bunga....”
Terima kasih....




*Buletin Dakwah “Maipa Muslim” Edisi III/Th1/September/2005 (sekarang berganti nama menjadi buletin “Asy Syabaab”)

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Sekedar “Pulang Kampung” (Buletin Asy-Syabab Edisi 11)

Pemenang Quiz Buletin Asy-Syabab pada Edisi 11