MUAMALAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dikenal sebagai al-amien (yang terpercaya) dan tak ada seorang pun yang mengingkari di zamannya. Beliau menjadi manusia terpandang dan dihormati dengan kejujurannya, di samping keturunan beliau sebagai bangsawan di tanah Arab. Kejujuran itu menunjukkan akhlak yang agung yang terdapat dalam diri nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, baik sebelum beliau diangkat menjadi Nabi, maupun setelahnya. Akhlak terhadap orang-orang di sekitarnya adalah hal yang nabi Shallallahu 'alaihi wasallam utamakan. Orang-orang pun sangat menyenangi keberadaan beliau dengan akhlak itu.
Metode beliau pun dalam  memberikan bayan (penjelasan) tentang risalah islam sangatlah beradab, tidak memaksa sebagaimana firman Allah :
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al Baqarah: 256)
Muamalah yang beliau jalin dengan kawan dan lawan dijadikan sebagai dasar peletakan hukum-hukum interaksi sosial yang selalu akan menjadi pedoman sampai akhir zaman. Ini telah menjadi kesepakatan bagi seluruh ulama dan kaum muslimin. Akhlak yang menjadi satu bagian integral dalam konfigurasi risalah islam telah diatur sedemikian rupa. Tidak ada sedikitpun tanda bahwa islam adalah agama kekerasan dan penyebab dari segala perseteruan agama-agama yang terjadi sampai pada hari ini, baik skala lokal maupun pada skala global. Oleh sebab itu, kekhawatiran akan eksklusifisme dan radikalisme beragama umat islam yang akan bermuara pada disintegrasi bangsa adalah statement yang sama sekali tidak beralasan. Kalau ternyata itu terjadi, bukan risalah agamanya yang perlu untuk ditata ulang, apalagi dilakukan penafsiran ulang berdasarkan kondisi kontemporer dengan mengabaikan aspek asbaabun nuzul atau aspek historis, tapi pelaku atau subjeknya-lah yang perlu untuk dipertanyakan, bagaimana realisasi dan pemaknaannya terhadap risalah islam. Karena telah maklum, bahwa melakukan reinterpretasi terhadap dalil-dalil yang sudah jelas maknanya oleh para ulama yang shalih adalah metode yang mendekonstruksi kesakralan para ahlul ilmi dan secara tidak langsung kita telah mengatakan bahwa kitalah yang lebih mengetahui tafsir terhadap dalil-dalil tersebut.
Karena itu, pedoman muamalah ini telah jelas dan terang, seterang mentari, namun terkadang bias karena mendung di akal. Hakikat hukum syariah telah jelas, namun terkadang diselewengkan maknanya hingga menjadi buyar. Tidak jelas antara kebenaran dan kebathilan. Memang itulah satu jurus ampuh para iblis dalam memalingkan manusia dari jalan al-Haq. Mereka mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil. Mereka juga membumbui kesesatan-kesesatan mereka dengan retorika yang indah di telinga. Padahal itu semua itu hanyalah tipuan. Allah Azza Wa Jalla berfirman:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia), Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS Al An’am: 112).
Metode inilah yang menjadi jurus yang juga digunakan oleh para pengusung dakwah kebathilan yang menyamakan agama-agama di bumi. Mereka menyamakan antara agama samawi[1] yang suci dengan agama-agama ardhi hasil rekayasa manusia. Mereka menggembar-gemborkan pemahaman kesetaraan agama-agama dengan dalih kebebasan, keadilan, dan perlindungan hak. Paham tersebut mereka dasarkan terhadap realitas konflik antara agama-agama yang terjadi, dan kekhawatiran akan retaknya keutuhan bangsa. Dari fakta itu, mereka mempropagandakan Pluralisme Agama. Dasarnya adalah logika netral agama atau teologi abu-abu yang digencarkan oleh tokoh utama pluralisme, Charles Kimball dan John Hick. Mereka menolak teologi eksklusif masing-masing agama. Pikiran ini berujung pada satu agama global (universal religion) dan satu teologi global (global theology).
Mereka (pengusung pluralisme) menyebutkan bahwa agama pada hakikatnya adalah sama. Cara beribadah, secara substansial adalah sama, yang berbeda adalah ibadah secara formalitas. Jalan-jalan menuju tuhan itu banyak dan berbeda-beda. Seperti halnya pepatah banyak jalan menuju roma. Titik awal kita berbeda, namun titik akhir terminal dari perjalanan agama-agama itu sama saja. Tuhan pada hakikatnya sama, hanya namanya yang membedakan. Bagi islam Allah, Nasrani Yesus, Yahudi Yahweh, Buddha Sidarta Buddha Gautama, Wishnu Hindu dan lain-lain



[1] Penulis menyebutkan agama samawi bukan agama-agama samawi karena pada hakikatnya agama samawi hanya satu, agama tauhid yaitu islam

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Sekedar “Pulang Kampung” (Buletin Asy-Syabab Edisi 11)

Pemenang Quiz Buletin Asy-Syabab pada Edisi 11