Pejabat dan Ilmuwan

-->

Akhir-akhir ini, saya disibukkan dengan kegiatan dari seminar ke seminar. Mulai dari menjadi sekretaris dengan tugas merangkap SC, tim dokumentasi dan publikasi hingga menjadi presenter. Di beberapa seminar yang saya tangani atau diundang sebagai pembicara, selalu saja kami dihadapkan pada masalah yang sama, pejabat dan waktu.
Untuk menjadikan seminar itu terkesan “besar”, para pejabat sering diundang sebagai keynote speaker atau untuk memberikan sambutan dan membuka acara. Banyak maksud yang ada di balik undangan kepada para pejabat. Selain memberikan gaung besar kegiatan seminar, juga dapat menjadi sarana untuk melakukan negosiasi sebuah kerjasama dan proyek besar yang ingin dilakukan oleh pihak penyelenggara.
Tetapi sayang seribu sayang, atau apakah memang ini sebuah “keharusan”, pejabat tidak pernah datang tepat waktu. Alhasil hampir semua kegiatan seminar yang pernah saya ikuti di Indonesia selalu dimulai terlambat karena menunggu pejabat. Banyak alasan yang menjadi penyebab keterlambatan pejabat. Ada yang karena sedang menerima tamu yang lebih penting, ada yang karena sedang menandatangani setumpuk surat, ada yang sedang rapat koordinasi, atau bahkan ada yang beralasan jalanan macet (yang belakangan ini agak sulit diterima akal untuk pejabat tingkat tinggi, karena biasanya jalanan sudah “dibersihkan” jika mereka mau lewat).
Saya kurang mengerti dengan penskedulan kegiatan pejabat. Tetapi saya kira mereka memiliki sepri dan ajudan yang menjadwalkan semua kegiatan termasuk menghitung dengan tepat alokasi waktu sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan apalagi keterlambatan untuk menghadiri sebuah acara setidakpenting apapun acara itu. Jika sudah menyatakan bersedia hadir, maka amatlah tidak etis datang terlambat atau digantikan oleh orang lain secara mendadak. Namun, saya menangkap kesan bahwa pejabat tidak berubah sejak jaman londo, “selalu tidak menganggap penting rakyat”.
Ilmuwan adalah salah satu diantara kelompok rakyat yang tidak dihargai. Saya tidak akan menyoroti dari segi penghargaan berupa uang, karena memang sangat tidak layak. Tetapi secara sederhana saja dalam sebuah seminar. Para pembicara menurut saya adalah orang yang berilmu, yang karena diminta menjadi pembicara, mereka menghabiskan waktu berhari-hari untuk membaca buku, menggali referensi untuk dapat menyampaikan makalah yang representatif dan sesuai dengan misi panitia, sekaligus dapat menjadi masukan bagi peserta. Mereka juga orang sibuk, sama sibuknya dengan para pejabat.
Tetapi apa penghargaan terhadap para pakar yang sudah menyusun makalah panjang tersebut dalam forum seminar di tanah air? Mereka hanya diberi waktu 10-15 menit untuk berbicara, dan peserta hanya diberi satu termin sesi tanya-jawab dengan tiga penanya, dan kemudian pembicara diberi kesempatan menjawab 2 menit. Waktu pendek itu semakin diperpendek jika pada acara selanjutnya ada pejabat yang hendak berpidato. Alhasil, kesan kedua saya tehadap pejabat, “Mereka rela membuat orang lain menunggu, tetapi enggan menunggu”.
Lalu apakah ilmuwan protes? Sama sekali tidak selain hanya bisa terbengong dan tersenyum-senyum melihat ulah para pejabat.
Lalu, setelah menyampaikan sambutan atau menjadi keynote speaker, apakah ada pejabat yang duduk diam mendengarkan isi/uraian pakar dalam seminar? Hampir tidak ada. Semuanya selalu dengan alasan kesibukan, harus membuka ini dan itu, meresmikan itu dan ini, buru-buru meninggalkan ruangan. Saya salut pada pejabat tertinggi di UNDIP pada sebuah seminar, beliau meluangkan waktu mendengarkan uraian pakar dari awal hingga akhir, alasannya karena beliau ingin belajar katanya.
Jika semua pejabat berprofesi sama, “hanya membuka dan menutup acara”, kapan mereka dapat mendengarkan masukan, kapan mereka belajar menganalisa masalah, kapan mereka memahami permasalahan di bawah seutuhnya? Pantas saja kebijakan selalu keluar asal keluar. Tanpa analisa matang, boro-boro menggunakan analisa SWOT. Yang penting asalkan “BARU”, berbeda dengan pejabat sebelumnya !
Bahkan saya sangat prihatin, dalam sebuah forum yang menentukan masa depan institusi sekalipun, seorang pejabat tinggi hanya bersedia membuka dan kemudian meminta ijin dengan alasan klise, membuka acara anu. Selanjutnya barangkali pejabat tersebut akan duduk manis saja di ruangannya menunggu laporan anak buah.
Parahnya kejadian di atas bukan terjadi di tingkat rapat RT/RW. Itu terjadi di lembaga pendidikan tinggi !
Saya merasa kasihan kepada para pejabat. Sebab mereka memiliki amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Khalik-Nya kelak. Sebagai manusia biasa, ilmuwan dan tentu kita semua akan berhadapan denganNya, tetapi para pejabat tampaknya akan menghadapi pengadilan yang lebih lama.

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Sekedar “Pulang Kampung” (Buletin Asy-Syabab Edisi 11)

Pemenang Quiz Buletin Asy-Syabab pada Edisi 11