Saatnya Dewasa Menyikapi Nasehat

Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’: 114)

Kadang kita terlalu yakin akan pengetahuan diri. Merasa paling benar dalam segala tindakan. Serta menyangka diri telah menguasai banyak hal. Akibatnya, seolah apa yang disampaikan orang lain sama sekali tidak dapat mengubah kesalahan yang mungkin kita lakoni. Padahal, yang namanya manusia itu sangat rentan jatuh dalam kesalahan. Yah, namanya juga manusia.


Malah tak jarang kita balik melempar kritik terhadap nasehat itu sehingga pada batas merendahkan pribadi orang yang memberi nasehat. Bukan lagi isi nasehat yang direnungkan, tapi pemberi nasehat yang pertama dilihat (baca: kritik). Kapan ia sesuai dengan standar kriteria kita, maka nasehat itu mendapat perhatian khusus. Namun jika tidak, melirik pun rasanya percuma.

Olehnya, kalimat “ia masih bau kencur dalam dakwah” atau “orang baru yang tidak mengetahui apa-apa tentang manhaj” tidak jarang terlontar dan mampir ditelinga kita. Tidak hanya dari lisan mereka yang terlalu percaya diri, namun juga berasal dari orang yang sebenarnya masih awam dalam ilmu dien ini. Dan bukannya malah berterima kasih terhadap nasehat yang secara ikhlas dipersembahkan demi maslahat di dunia dan akhirat.

Keadaan kita ini persis seperti orang yang mendapat kabar bahwa ada sesuatu yang hendak membahayakan dirinya, akan tetapi justru dia balik mencela dan menyerang sang pemberi peringatan, dan tidak menyiapkan diri menghadapi bahaya tersebut. Siapapun kita, selama masih sanggup menggunakan rasio yang sehat tentu mengingkari hal tersebut.

Ketahuilah, segala bentuk nasehat yang dipersembahkan dengan penuh keikhlasan, pada hakekatnya bukan kehinaan yang sengaja dilontarkan seseorang kepada saudaranya. Bahkan ia merupakan bukti kedalaman rasa cinta serta wujud akan pengamalan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ya, rasanya cinta yang membuat dirinya tidak tega menyaksikan saudaranya terus bergelimang dalam kekeliruan. Dan kiranya tidak ada sesuatu yang paling mulia dipersembahkan seseorang kepada saudaranya melebihi nasehat yang baik. Mencegah mereka dari kerusakan agama dan harga diri, serta berupaya agar saudaranya turut selamat dari azab dan hukuman Allah Ta’ala. Kendati harus dipahami, nasehat itu kadang terasa pahit dan menyesakkan. Ibarat minum jamu, rasanya getir dan memuakkan, akan tetapi sangat bermanfaat di kemudian hari.

Makanya, diantara kesalahan terbesar yang banyak menjerumuskan kita adalah terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan dari nasehat yang diketengahkan oleh saudara muslim. Seolah nasehat itu sesuatu yang menelanjangi harga diri kita atau merobohkan kehormatan. Padahal, yang namanya nasehat, paling tidak ia merupakan pengingat bagi diri. Jangan sampai kita terlalu larut dalam sesuatu yang kita anggap sudah baik dan benar. Atau, sebagai rambu supaya kita segera mengerem sedikit kecepatan agar jangan sampai “bablas” dan masuk jurang.

Yang lebih mengerikan, jika perbuatan ini menyeret kita pada sikap menolak kebenaran. Dan ini merupakan satu indikasi dari sifat sombong yang sangat tercela. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa, “Sombong itu menolak kebenaran dan menghina manusia (orang lain).” (HR. Muslim).

Duh, sungguh ini merupakan penyakit yang amat berbahaya. Ketergelinciran yang sangat fatal karena akibat dari perbuatan tersebut adalah “Tidak masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong walau sebesar dzarrah.”

Belajarlah dari sahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. Kala dibacakan padanya hadits riwayat Abu Hurairah akan keadaan tiga orang yang pertama dihisab pada hari kiamat, beliau lantas menangis tersedu-sedu. Pilu sekali. Lalu jatuh pingsan tak sadarkan diri. Demikian pula Khalifah Harun Ar-Rasyid saat mendapat teguran seorang ulama, Abdullah Al-Umari, “Ingatlah selalu, setiap dari mereka itu (sambil menunjuk ribuan jama’ah haji) kelak akan ditanya tentang pribadi mereka sendiri di akhirat. Namun, engkau bakal ditanya tentang setiap orang yang berada dibawah kekuasaanmu. Pikirkanlah, bagaimana nasib dirimu kelak!” Ia kemudian menangis sejadi-jadinya, meratap hingga orang-orang disekelilingnya merasa iba.

Perhatikan kedua manusia mulia ini. Posisinya sebagai pemimpin kaum muslimin saat itu tidak menghalangi mereka untuk menerima nasehat kebenaran. Padahal saat itu mereka di atas puncak ketenaran. Pengikut yang berlimpah dan setia, akan tetapi mereka masih saja rindu dengan petuah dan nasehat dari orang-orang yang ikhlas menyodorkan pada mereka. Beda halnya dengan keadaan kita saat ini. Kadang nasehat kita sikapi sebagai bentuk penelanjangan yang memalukan, menghancurkan wibawa, atau menghilangkan pengaruh didepan pengikut.

Sebenarnya apa yang harus kita banggakan di dunia ini, sehingga terlalu begitu percaya diri menolak nasehat dari orang lain. Jika yang kita banggakan adalah ilmu, sungguh telah banyak ulama pendahulu kita yang jauh lebih hebat ilmunya daripada segelintir ilmu kita. Jika ibadah kita andalkan, maka ketahuilah telah banyak manusia yang lebih khusyu’ dan melimpah ibadahnya dibanding kita yang lemah ini.

Olehnya, sikapilah nasehat dari sesama saudara muslim dengan bijak. Dan jika harus dijawab, maka jawablah dengan cara yang bijak dan hikmah. Mendudukkan persoalan pada tempatnya, serta menjawab sesuai dengan porsinya. Tidak lebih dari itu. Bukan dengan sikap emosi yang meledak-ledak. Apalagi sampai harus menggelar ceramah umum untuk “balik” menasehati atau membuat “nasehat tandingan”. Atau, mungkin kita meng-hajr (memboikot) orang yang memberi nasehat serta melampiaskan ketersinggungan kepada orang yang tidak salah tersebut. Sungguh merupakan suatu kedzaliman yang menyakitkan.

Jangan sampai kita menjadi orang-orang yang binasa lantaran terpedaya dengan banyaknya kebajikan dan terlalu percaya pada kemampuan diri sendiri. Seperti anak muda yang dangkal ilmunya, namun tertipu dengan banyaknya ibadah yang telah dikerjakan.

Karenanya, sisakan sedikit ruang untuk nasehat di dalam qalbu. Biarkan ia bersemayam disana, walaupun mungkin saat ini kita masih sulit untuk menerimanya. Bisa saja ia menjadi pengingat dikemudian hari bahwa masih ada dari saudara kita yang peduli terhadap diri kita. Masih ada cinta yang tegak di atas landasan iman. Wallahu a’lam

Sumber:

Diringkas dari Majalah Al-Bashirah Edisi 08 tahun II Jumadil Ula 1429 H.

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Sekedar “Pulang Kampung” (Buletin Asy-Syabab Edisi 11)

Pemenang Quiz Buletin Asy-Syabab pada Edisi 11