FATWA ULAMA BESAR SEPUTAR MAULID

Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk cinta kepada rasulullah -shollallahu alaihi wasallam-. Bahkan tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga ia mencintai nabi -shollallahu alaihi wasallam-, melebihi kecintaanya kepada orang tuannya, anak-anaknya bahkan seluruh manusia. Nabi -shollallahu alaihi wasallam- bersabda, yang artinya “tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia.”[HR.Bukhariy (15), dan muslim (44)]

Syaikh muhammad bin jamil zainu –hafiszhahullah- berkata,” hadits ini memberikan faedah kepada kita bahwasanya keimanan tidak akan sempurna hingga seseorang mencintai rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam- melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.”[lihat minhajul firqatun najiyah(hal. 111)]

Setelah kita mengetahui hal ini, lalu bagaimana cara mencintai nabi –shollallahu alahi wasallam-? Cinta kepada nabi -shollallahu alaihi wasallam- adalah dengan mengikutu syari’at beliau. Tidaklah dibenarkan bagi seseorang untuk mengada-adakan suatu perkara baru dalam syari’at beliau, dengan anggapan hal tersebut bisa mendekatkan diri kepada ALLAH SWT atau suatu bentuk kecintaan kepada nabi -shollallahu alaihi wasallam-, atau itu adalah bid’ah hasanah. Padahal semua bid’ah dalam agama adalah sesat dan buruk!!
Di edisi kali ini, kami akan bawakan fatwa ulama besar berkenaan dengan perkara yang dianggap oleh sebagian orang merupakan bentuk kecintaan kepada nabi -shollallahu alaihi wasallam-, padahal perkara tersebut tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at yang mulia ini dan bukan pula bentuk kecintaan kepada nabi -shollallahu alaihi wasallam-, yakni perayaan maulid nabi -shollallahu alaihi wasallam-.
Fatwa syaikh abdul aziz bin baaz (mantan mufti di sebuah negri timur tengah), ditaya tentang hokum perayaan maulid nabi -shollallahu alaihi wasallam-.
Syaikh bin baaz –rahimahullah- menjawab, “tidaklah dibenarkan seorang merayakan hari lahir (maulid) nabi -shollallahu alaihi wasallam- dan hari kelahiran lainnya, karena hal tersebut termasuk bid’ah yang baru diada-adakan dalam agama. Padahal sesungguhnya rasul -shollallahu alaihi wasallam-, para khalifah A r-Rasyidin dan selainnya dari kalangan sahabat tidak pernah melakukan perayaan tersebut dan tidak pula para tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan di zaman yang utama lagi terbaik. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang sunnah, paling sempurna cintanya kepada nabi dan ittiba’-nya (keteledanannya) terhadap syariat beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka.
Telah shahih (sebuah hadits) dari nabi -shollallahu alaihi wasallam-, beliau bersabda, yang artinya “ barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak”.[HR.Al-Bukhariy dalam shohih-nya (697) dan muslim(1718)]
Beliau juga bersabda, “wajib atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khlifah ar rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah ia kuat-kuat dan gigit dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian dengan perkara-perkara baru yang diada-adakan,karena semua perkara baru itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.”[abu dawud (4617),At-Tirmidzy (2676), dan ibnu majah (42). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shahih Al-Jami’(2546)]
Jadi dalam dua hadits yang mulia ini terdapat peringatan yang keras dari berbuat bid’ah dan mengamalkannya.allah-Ta’ala –berfirman, yang artinnya “Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah;dan apa yang dilarangnya bagimu,maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”(QS. Al-Hasyr:7).
Allah-Ta’ala-berfirman, yang artinya “ maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpah azab yang pedih.”(QS.An-Nur:63).
Allah-ta’ala-berfirman, yang artinnya “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat Allah) dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS.Al-Ahzab:21).
Allah-ta’ala-berfirman, yang artinnya ” Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah ku-cukupkan kepadamu nikmat-ku, dan telah ku-ridhai islam itu jadi agama bagimu.”(QS.Al-Maidah:3).
Membuat perkara baru -semacam maulid- ini akan memberikan sangkaan bahwa Allah –Ta’ala- belum menyempurnakan agama untuk ummat ini, dan nabi –shollallahu ’alaihi wasallam- belum menyampaikan kepada ummatnya apa yang pantas untuk mereka amalkan, sehingga datanglah orang-orang belakang ini membuat-buat perkara baru dalam syriat allah apa yang tidak diridhoi allah, dengan sangkaan hal tersebut bisa mendekatkan diri mereka kepada allah. Padahal perkara ini –tanpa ada keraguan- adalah bahanya yang sangat besar, termasuk penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. padahal sungguh Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya; Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka dan nabi –shollallahu ’alaihi wasallam- sungguh telah menyampaikan syariat ini dengan terang dan jelas. Beliau tidaklah meninggalkan suatu jalan yang bisa mengantarkan ke surge dan mengjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah menyampaikan kepada ummatnya, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari sahabat Abdullah bin Amer –radhiyallahu ‘anhu-,beliau berkata, Rasulullah –shollallahu ’alaihi wasallam- bersabda, yang artinya “tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali wajib atasnya menunjukkan kebaikan atas ummatnya apa yang ia telah ketahui bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang ia ketahui bagi mereka.”[HR.Muslim dalam shohih-nya (1884)].
Suatu hal yang dimaklumi bersama, Nabi kita –shollallahu ’alaihi wasallam- adalah nabi yang paling utama, penutup para nabi dan yang paling sempurna penyampaiannya dan nasihatnya. Andaikata perayaan maulid ini termasuk agama yang diridhoi Allah, niscaya nabi –shollallahu ’alaihi wasallam- akan jelaskan kepada ummatnya atau pernah melaksanakannya atau setidaknya para sahabat pernah melakukannya. Akan tetapi, tatkala hal tersebut tidak pernah sama sekali melakukannya. Akan tetapi hal tersebut tidak pernah sama sekali mereka lakukan,maka diketahuilah hal tersebut bukanlah dari islam sedikit pun juga bahkan dia termasuk dari perkara-perkara baru yang telah diperingatkan bahanyanya oleh nabi –shollallahu ’alaihi wasallam- sebagaimana dalam dua hadits yang tersebut diatas. Hadits-hadits lain yang semakna dengannya telah datang (dari nabi –shollallahu ’alaihi wasallam-), seperti sabda beliau dalam khutbah jum’at yang artinya “sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah,sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shollallahu ’alaihi wasallam,sejelek-jeleknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR.Muslim shohih-nya (867)].
Demikianlah fatwa dari syaikh abdul aziz bin baaz –rahimahullah-, anda bisa lihat dalam kitab majmu’fatawa as-Syaikh bin baz (1/183),dan Al-Bida’ wal muhdatsat (hal 619-621).
Syaikh abdul aziz bin baaz juga ditanya “ apa hokum menyampaikan nasihat atau ceramah pada hari maulid Nabi –shollallahu ’alaihi wasallam-?
Syaikh bin baaz menjawab, “amar ma’kruf nahi mungkar, memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia,menjelaskan kepada mereka tentang agama mereka, dan memberikan nasehat kepada mereka sesuatu yang bisa melembutkan hati mereka adalah perkara yang disyariatkan pada setiap watu, karena adanya perintah untuk perkara tersebut datang secara mutlak, tanpa ada pengkhususan waktu tertentu.
Allah- Ta’ala-berfirman, yang artinya ”dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS.Al-Maidah : 104).
Allah-Ta’ala-berfirman, yang artinya “serulah (manusia) kepada jalan tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(QS.An-Nahl:125).
Allah juga menjelaskan keadaan orang-orang munafik dan sikap para dai (penyeru) diantara mereka, “Apabila dikatakan kepada mereka :”marilah kamu (tunduk) kepada hokum yang Allah telah turunkan dan kepada hokum rasul”, niscaya kamu lihat orang- orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri. Kemudian mereka datang kepadamusambil bersumpah:”demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyesalan yang baik dan perdamaian yang sempurna “. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang didalam hati mereka.karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang berbekas pada jiwa mereka .”(QS.An-Nisa’:61-63); dan ayat-ayat lain.
Jadi, Allah memerintahkan untuk berdakwa dan memberikan nasehat secara mutlak, tidak mengkhususkannya pada waktu tertentu. Sekalipun nasehat dan bimbingan ini semakin dianjurkan ketika ada tuntunan kepadanya, seperti khutbah jum’at dan hari Ied, karena warid(datang)-nya hal tersebut dari nabi –shollallahu ’alaihi wasallam-. Demikian pula ketika melihat suatu kemungkaran, ini berdasarkan sabda nabi –shollallahu ’alaihi wasallam-, yang artinya “ barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya.jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya.jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya.yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”[HR.Muslim(49)]
Adapun pada hari maulid, maka didalamnya tidak boleh ada suatu pengkhususan dengan suatu ibadah tertentu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya, adanya nasihat,bimbingan, pembacaan kisah maulid, karena Nabi –shollallahu ’alaihi wasallam- tidak pernah mengkhususkan hal tersebut dengan perkara-perkara tersebut. Andaikan hal tersebut baik, niscaya nabi –shollallahu ’alaihi wasallam- adalah orang yang pantas melakukan hal tersebut. Akan tetapi nyatanya beliau tidak pernah melakukannya. Menunjukkan bahwa adanya pengkhususan-pengkhususan tersebut dengan ceramah, pembacaan kisah maulid atau selainnya termasuk perkara-perkara bid’ah. Telah shahih dari Nabi –shollallahu ’alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda, yang artinya “Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak.” [HR. Al-bukhariy dalam shohih-nya(2697) dan Muslim(1718)]
Demikian pula halnya para sahabat mereka tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah manusia yang paling tahu tentang sunnah dan paling bersemangat untuk mengamalkannya”.[ Lihat fatwa Al-lajnah Ad-Daimah (5591), dan Al-Bida’wa Al-Muhdatsat wa ma laa ashla lahu (628-630)]
Jadi, maulid bukanlah sarana syiar’I dalam beribadah dan mencintai Nabi –shollallahu ’alaihi wasallam-. Tapi ia adalah ajaran baru yang disusupkan oleh para pelaku bid’ah dan kebatilan. Bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi –shollallahu ’alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidyyun pada tahun 362H.
Ulama’ bermadzhab syafi’iyyah, Al-Hafizh ibnu katsir Ad-Dimasyqiy –rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, “sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-qoddah, seorang yahudi yang memerintah di mesir dari tahun 357-567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Diantaranya perayaan maulid
Nabi –shollallahu ’alaihi wasallam-“.
Disalur dari Al-Atsariyyah

Comments

SCMM said…
This comment has been removed by the author.

Popular posts from this blog

Tidak Sekedar “Pulang Kampung” (Buletin Asy-Syabab Edisi 11)

Pemenang Quiz Buletin Asy-Syabab pada Edisi 11