6 Perkara Penting Dalam Agama
1.
Ikhlas dalam agama dan melawan kemusyrikan
Ikhlas menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yaitu beribadah kepada Allah semata-mata hanya untuk taqarub (mendekatkan diri) kepadaNya dan untuk memperoleh apa yang ada disisiNya. Hal ini dilakukan dengan cara memurnikan tujuan, cinta dan pengangungan hanya hanya kepada Allah juga memurnikan seluruh apa saja yang bersifat lahir maupun batin dalam beribadah tidak dikehendaki dan diharapkan dari semua itu kecuali hanya ridhaNya.
Allah berfirman:
Ikhlas menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yaitu beribadah kepada Allah semata-mata hanya untuk taqarub (mendekatkan diri) kepadaNya dan untuk memperoleh apa yang ada disisiNya. Hal ini dilakukan dengan cara memurnikan tujuan, cinta dan pengangungan hanya hanya kepada Allah juga memurnikan seluruh apa saja yang bersifat lahir maupun batin dalam beribadah tidak dikehendaki dan diharapkan dari semua itu kecuali hanya ridhaNya.
Allah berfirman:
Katakanlah:
"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah,
Tuhan semesta Alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).
[Qs. Al-An'am: 162-163]
Tauhid dan ikhlas ini telah diwujudkan oleh Rasulullah saw, kemudian beliau bersih dari segala sesuatu yang bisa mengotorinya, tidak cukup itu saja bahkan setiap yang membuka peluang untuk masuknya syirik maka beliau sumbat rapat-rapat. Seperti larangan beliau kepada orang yang mengucapkan: "Atas kehendak Allah dan kehendak Anda." beliau bersabda: "Apakah kamu hendak menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah?" tapi (ucapkan): "Atas kehendak Allah saja!" Beliau juga melarang sumpah dengan selain Allah karena disitu ada unsur pengagungan terhadap makhluk yang ia gunakan bersumpah. Sebagai lawan dari tauhid dan ikhlas yaitu syirik, Allah berfirman: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun." [An-Nisaa': 36]
Oleh
karena itu hendaklah kita berhati-hati dan waspada terhadap segala bentuk
kemusyrikan, baik itu yang besar (akbar) dan dapat menyebabkan pelakunya keluar
dari Islam, yang kecil (asghar) maupun yang tersembunyi (khafiy).
2. Bersatu dalam agama dan tidak berpecah belah
Perkara ini diperintahkan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah serta merupakan jalan hidup para shahabat dan salafus shalih.
Firman Allah:
"Dan berpenganglah kamu semua kepada tali agama Allah dan jangan kamu bercerai-berai" [Qs. Ali Imran : 103]
Sabda Rasulullah: "Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, maka tidak boleh salah satu menzhalimi yang lain, tidak pula merendahkan dan menghinanya." [HR. Bukhari].
"Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan lain" [HR. Bukhari].
Demikian ajaran Rasulullah saw kepada umatnya agar saling mengasihi dan mencintai serta melarang bermusuhan dan bercerai berai.
2. Bersatu dalam agama dan tidak berpecah belah
Perkara ini diperintahkan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah serta merupakan jalan hidup para shahabat dan salafus shalih.
Firman Allah:
"Dan berpenganglah kamu semua kepada tali agama Allah dan jangan kamu bercerai-berai" [Qs. Ali Imran : 103]
Sabda Rasulullah: "Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, maka tidak boleh salah satu menzhalimi yang lain, tidak pula merendahkan dan menghinanya." [HR. Bukhari].
"Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan lain" [HR. Bukhari].
Demikian ajaran Rasulullah saw kepada umatnya agar saling mengasihi dan mencintai serta melarang bermusuhan dan bercerai berai.
Memang
para shahabat pernah berbeda pendapat, akan tetapi tidak menyebabkan perpecahan,
permusuhan dan saling benci karena hakikatnya mereka sama-sama berjalan diatas
hukum yang dicantumkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Seperti ketika Rasulullah
saw selesai dari perang Ahzab Jibril as memerintahkan agar segera ke Bani
Quraidhah karena mereka melanggar perjanjian, maka Rasulullah bersabda: "Kalian
semua jangan shalat Ashar dulu, kecuali kalau sudah sampai di Bani
Quraidhah." [HR. Bukhari].
Akhirnya
mereka meninggalkan Madinah menuju Bani Qudraidhah dan bersamaan dengan itu
tiba waktu Ashar, maka sebagian sahabat ada yang shalat Ashar dulu dan sebagian
lagi ada yang tidak. Hal ini tidak dicela oleh Rasullah dan dengan kasus ini
para shahabt tidak lantas saling bermusuhan atau benci antara satu dengan lain.
Demikian pula para salafus shalih ketika berbeda pendapat, selagi dalam masalah
ijtihadiyah yang disitu berlaku hukum ijtihad maka perbedaan itu tidak
menyebabkan permusuhan dan lain benci, bahkan dalam perbedaan yang sangat tajam
sekalipun. Inilah salah satu kaidah pokok Ahlussunnah dalam masalah khilafiyah.
Adapun
perselisihan yang tidak bisa dikompromi adalah apa saja yang menyelisihi
shahabat dan tabi'in seperti dalam hal i'tiqad dan kenyakinan yang mana
sebelumnya tidak pernah ada dan munculnyapun setelah qurun mufaddlalah (masa generasi
terbaik)
3. Mendengar dan patuh kepada pemegang urusan kaum muslimin (ulil amri)
Ini sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam firmanNya:
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri diantara kamu." [Qs. An-Nisaa': 59]
Sedangkan dari hadits Rasulullah saw diantaranya adalah:
"Hendaklah kalian semua mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian adalah seorang hamba habasyi" [HR. Al Bukhari]
"Barangsiapa yang melihat sesuatu (yang dibenci) pada imamnya maka hendaklah ia bersabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari Al-Jama'ah sejengkal saja, kemudian mati maka matinya dalam keadaan jahilliyah." [HR. Al Bukhari]
3. Mendengar dan patuh kepada pemegang urusan kaum muslimin (ulil amri)
Ini sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam firmanNya:
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri diantara kamu." [Qs. An-Nisaa': 59]
Sedangkan dari hadits Rasulullah saw diantaranya adalah:
"Hendaklah kalian semua mendengar dan taat walaupun yang memerintah kalian adalah seorang hamba habasyi" [HR. Al Bukhari]
"Barangsiapa yang melihat sesuatu (yang dibenci) pada imamnya maka hendaklah ia bersabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari Al-Jama'ah sejengkal saja, kemudian mati maka matinya dalam keadaan jahilliyah." [HR. Al Bukhari]
Akan
tetapi ketaatan terhadap amir tidaklah mutlak, yaitu selagi ia tidak menyuruh bermaksiat
kepada Allah. Sebagaimana sabda Rasul saw: "Wajib seorang muslim untuk
mendengar dan taat baik terhadap perkara yang ia sukai maupun yang ia benci
kecuali jika disuruh untuk bermaksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak
boleh taat." [HR. Al Bukhari]
Dan
yang dimaksud amir disini adalah bukan sebagaimana yang diklaim oleh
kelompok-kelompok yang ada saat ini. Mereka semua salah dalam menerapkan
hadits-hadits Rasulullah saw yang berkaitan dengan imamah, sehingga bukannya
bersatu tapi malah memperbanyak jumlah kelompok dan makin menceraiberaikan
umat.
4. Penjelasan tentang ilmu dan fuqahaa serta orang yang seperti mereka padahal bukan
Ilmu yang dimaksud disini ialah ilmu syar'i yaitu pengetahuan tentang apa-apa yang diturunkan oleh Allah berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk yang diberikan kepada Rasulullah saw baik itu Al Kitab maupun Al Hikmah (As Sunnah).
Allah swt berfirman:
4. Penjelasan tentang ilmu dan fuqahaa serta orang yang seperti mereka padahal bukan
Ilmu yang dimaksud disini ialah ilmu syar'i yaitu pengetahuan tentang apa-apa yang diturunkan oleh Allah berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk yang diberikan kepada Rasulullah saw baik itu Al Kitab maupun Al Hikmah (As Sunnah).
Allah swt berfirman:
"Katakanlah:
'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui' Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran." [Qs.
Az-Zumar: 9]
Adapun
selain ilmu syari'i jika itu untuk tujuan kebaikan maka itu baik naum jika
untuk tujuan yang buruk maka ia jadi buruk, dan jika tidak ada tujuan apa-apa
maka termasuk kategori menyia-nyiakan waktu. Ilmu memiliki banyak keutamaan
diantaranya adalah:
·
Bahwa orang yang berilmu akan
diangkat derajatnya oleh Allah.
·
Ilmu adalah warisan para Rasulullah.
·
Ilmu akan tetap tinggal meskipun
pemiliknya telah meninggal.
·
Salah satu iri yang dibolehkan
adalah iri terhadap orang yang berilmu dan mengamalkannya.
·
Ilmu merupakan cahaya untuk
menerangi jalan kehidupan.
·
Orang alim ibarat lentera yang
menerangi orang-orang disekitarnya.
Yang
sangat ditekankan adalah bahwa kita harus tahu siapa sebenarnya ulama dan
fuqaha itu sebab ada juga orang-orang yang menyerupai ulama namun pada
hakekatnya adalah bukan. Mereka mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil
dan pandai menghiasi perbuatan dan ucapannya sehingga kesesatan dan kebid'ahan
yang ia lakukan disangka oleh orang sebagai ilmu padahal bukan, ibarat
fatamorgana yang disangka air namum ternyata kosong dan semu belaka.
5. Mengenal wali-wali Allah yang sebenarnya
Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepadaNya, bertakwa dan beristiqamah diatas agamaNya,
Allah berfirman:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa". [Qs. Yunus: 62-63]
5. Mengenal wali-wali Allah yang sebenarnya
Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepadaNya, bertakwa dan beristiqamah diatas agamaNya,
Allah berfirman:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa". [Qs. Yunus: 62-63]
Jadi
jika seseorang itu beriman dan bertakwa kepada Allah maka dia adalah waliNya.
Bukan sebagaimana yang dinyakini sebagian orang bahwa wali adalah orang yang
maksum (terjaga dari dosa) dan ia mempunyai jalan (tharikat) tersendiri yang
langsung dari Allah, bukan syari'at yang dibawa oleh Rasulullah saw, atau
dengan kata lain bahwa wali Allah itu biasanya orangnya nyeleh (tidak wajar).
Maka tidak diragukan lagi bahwa orang semacam ini tidak layak untuk disebut
wali Allah, dan tidak pantas untuk mengaku bahwa dirinya adalah wali. Allah
yang lebih tahu siapa yang menjadi waliNya. Dan yang pasti mereka adalah
orang-orang yang selalu berpegang teguh kepada kitabNya dan sunnah RasulNya.
Allah telah menjelaskan bahwa tingkatan hambaNya yang diberi nikmat dimulai dari Rasululliahyyin (para Rasulullah), Shiddiqin (jujur dan benar imannya), syuhadaa (para syahid) kemudian shalihin (orang shalih), mereka semua ini adalah wali-wali Allah berdasarkan kesepakatan salafus shalih.
Allah telah menjelaskan bahwa tingkatan hambaNya yang diberi nikmat dimulai dari Rasululliahyyin (para Rasulullah), Shiddiqin (jujur dan benar imannya), syuhadaa (para syahid) kemudian shalihin (orang shalih), mereka semua ini adalah wali-wali Allah berdasarkan kesepakatan salafus shalih.
6. Melawan shubhat yang ditanamkan syetan untuk menjauhkan kita dari Al-Qur'an dan As-Sunnah
Yaitu mereka bisikkan bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya boleh dipelajari oleh orang yang mencapai derajat mujtahid mutlak setingkat Abu Bakar atau Umar radhiyallahu anhuma. Jikalau seseorang mempelajarinya maka akan jadi kafir atau zindik. Alhamdulillah syubhat ini dengan pertolongan Allah telah dijawab oleh para ulama dengan meletakkan dasar dan syarat-syarat dalam ijtihad serta penjelasan dari mereka tentang tidak bolehnya sesorang untuk taklid buta, namun hendaknya setiap orang berusaha untuk mengkaji Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Adapun
taklid dibolehkan jika seseorang memang benar-benar awam tidak tahu menahu dan
tidak bisa memahami suatu hukum atau sebenarnya mampu namun mengalami kesulitan
yang sangat besar maka ia boleh taklid dalam bab yang tidak mampu memahaminya
Wallahu a'lam bis shawab.
Maraji': Al Ushul As Shittah (Syaikh Muhammad At-Tamimi)
Syarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Wallahu a'lam bis shawab.
Maraji': Al Ushul As Shittah (Syaikh Muhammad At-Tamimi)
Syarah: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Comments