Ketika Fisikawan Mentadaburi QS. An-naml ayat 88 (Buletin Asy-Syabab Edisi 5)


Oleh: Andi Muh. Akhyar, S.Pd. M.Sc.
(Ketua SCMM periode 2011-2012|Alumnus Program Pascasarjana Ilmu Fisika UGM)

 “Dan kamu melihat gunung-gunung itu, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”
(QS. An Naml: 88)
            Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kamu melihat gunung-gunung sepertinya diam dan menetap di tempat yang selama ini ia diami. Padahal sebenarnya gunung-gunung itu bergerak seperti perjalanan awan. Ia ternyata bergeser dari tempat kediamannya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala pada ayat yang lain, “Pada hari ketika langit benar-benar bergoncang dan gunung benar-benar berjalan”(QS. At Thuur: 9-10). Dalam ayat lain juga disebutkan, “Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung…”(QS. Al Kahfi:47). Bergeraknya gunung-gunung dalam tafsir ayat ini sehubungan dengan dahsyatnya huru hara akhir zaman, terutama apabila kita melihat tafsir ayat ini dalam satu rangkaian mulai ayat 87 sampai ayat 90.
            Namun apabila kita melakukan tadabbur terhadap ayat tersebut, maka masing-masing orang sesuai tingkatan ilmunya akan mendapatkan faedah bermacam-macam. Dalam sudut pandang sebagai seorang fisikawan, tadabbur ayat ini akan menghasil sebauh perenungan mendalam ketika Allah subhanahu wata’ala menyatakan dugaan kita, “Engkau mengira gunung-gunung itu diam”, lalu kemudian Allah subhanahu wata’ala meralat dugaan kita tersebut ketika berkata, “Padahal ia berjalan”, lebih lajut Allah subhanahu wata’ala memberikan informasi yang lebih menarik ketika disebutkan, bahwa berjalannya,“seperti jalannya awan”.
            Apabila ayat ini ditadabburi oleh seorang fisikawan muslim 14 abad silam ketika ayat ini diturunkan, maka mereka akan sulit memahaminya. Pandangan tentang jagad raya yang dipercaya saat itu adalah pandangan Aristotelian-Ptolemaenik yang menyebutkan bahwa bumi adalah pusat gajad raya. Bumi dan isinya diam. Mereka dikelilingi oleh benda-benda langit, seperti bulan, planet-planet, matahari, dan bintang-bintang.
            Setiap orang tahu bahwa gunung adalah bagian bumi yang menonjol dan menjulang tinggi serta tetap di tempatnya. Jabal Sawda di Arab Saudi, gunung Fuji di Jepang, Gunung Himalayah di Indonesia, kita semua sepakat bahwa gunung tersebut tetap di koordinatya masing-masing. Inilah yang dimaksud Allah subhanahu wata’ala ketika Allah subhanahu wata’ala menegaskan dugaan kita, “Engkau mengira gunung-gunung itu diam”.  Lalu bagaimanakah objek yang terpancang kokoh dan menyatu dengan bumi disebut bergerak seperti awan? Apakah gerak gunung juga terkait dengan kecepatan dan tempat awan bergerak?
            Kalau kembali kita melihat dengan kasat mata, gunung itu tetap diam dan rasanya tak mungkin gunung bergerak sebagaimana gerak awan. Apa yang kita lihat tersebut sejalan dengan kerangka berpikir Aristotelian-Ptolemainik, gunung yang menancap di bumi itu diam, karena mengikuti diamnya bumi, sedangkan matahari dan benda-benda langitlah yang bergerak mengelilingi bumi. Kerangka berpikir Aristotelian-Ptolemaenik tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan manusia secara umum. Matahari bergerak, terbit di timur lalu bergerak ke barat sedikit demi sedikit, dan akhirnya tenggelam di barat. Demikian juga bulan pada malam hari, bergerak dari timur ke barat. Namun baik kerangka pikir Aristotelian-Ptolemaenik maupun apa yang kita rasakan sehari-hari ternyata berbeda secara tekstual dengan yang disebutkan Al Qur’an bahwa gunung yang terpancang di bumi ini bergerak seperti awan.
            Karena Al Quran pasti benar, maka dengan mentadabburi ayat ini akan mendorong kita untuk berpikir, bagaimana maksud Allah subhanahu wata’ala dengan mengatakan bahwa gunung bergerak seperti awan dalam kaca mata seorang fisikawan? Tadabbur ayat ini akan membawa seorang fisikawan untuk melakukan revolusi pemikiran; menentang dan mendobrak kerangka pikir lama. Seorang muslim akan menentang kerangka pikir Aristotelian-Ptolemaenik bahwa bumi diam (geosentris) dan akan mempercayai kerangka pikir Copernikus-Kepler bahwa bumi bergerak mengelilingi matahari. Bagi seorang fisikawan, tadabbur ayat ini akan membawanya pada pembenaran ayat tersebut bahwa gunung benar-benar bergerak mengikuti gerakan bumi yang bergerak mengelilingi matahari.
            Bumi bergerak, namun mengapa kita tidak merasakannya? Orang yang pernah naik pesawat pasti tahu bagaiman saat berada di ketinggian sekitar 10 km dan bergerak dengan laju sekitar 800 km per jam. Para penumpang dapat melihat awan melalui jendela pesawat. Nampak  awan yang bergerak dan terasa seakan pesawat diam. Bahkan apabila langit cerah tanpa awan dan jendela pesawat ditutup, karena pesawat akan terasa sangat tenang dan tanpa guncangan, maka seakan terasa pesawat itu benar-benar diam.
            Ukuran bumi jauh lebih besar dari pesawat apapun. Oleh karena itu, sebagaimana pesawat yang realitanya bergerak, namun tak terasa oleh para penumpang, maka demikian pula bumi yang realitanya bergerak dengan kecepatan tinggi namun tak dirasakan oleh manusia yang berdiam di dalamnya. Lapisan udara yang mengelilingi bumi berperan sebagaimana badan pesawat yang melindungi penumpnag dari udara luar.

Huru Hara Hari Kiamat

            Tadabbur lebih mendalam dari ayat ini akan membawa seorang hamba pada kemantapan pembenaran terjadinya huru hara akhir zaman. Dalam sudut pandang matematis dari rumus kelajuan rotasi,
ketika bumi bergerak rotasi dengan sudut teta, dalam waktu t, akan menghasilkan kecepatan sudut . Jika sekali bumi berputar (360o) membutuhkan waktu 24 jam, maka,
Para fisikawan mengetahui bahwa
Dimana v = kelajuan linier dan r = jari-jari bumi (6371km).
            Dengan demikian, kelajuan gerak bumi adalah
            Apabila Allah subhanahu wata’ala menghentikan berjalannya waktu sehingga t = 0, maka kaidah matematikanya,
Apabila kecepatan bumi sudah menjadi tak berhingga
, disaat seperti inilah pasti terjadi kehancuran di bumi. Gunung-gunung beterbangan, manusia akan bergelimpagan, dan air di laut akan tertumpah. Dalam pemahaman kita sebagai muslim, itulah kiamat.
            Dalam kacamata hukum newton, apa jadinya jika bumi berhenti berputar meski hanya satu detik saja? Kita tahu Hukum I Newton, “Setiap benda akan berada dalam keadaan diam atau bergerak dengan laju tetap sepanjang garis lurus”. Contoh penerapan hukum tersebut adalah ketika mobil yang tengah berjalan denga kelajuan konstan lalu direm, badan penumpang akan terdorong ke depan karena adanya gaya inersia, yaitu gaya yang cenderung mempertahankan keadaan awalnya; terus bergerak. Demikian pula dengan bumi yang juga sedang bergerak dengan laju cendrung konstan ().  Ketika Bumi dihentikan geraknya 1 detik saja oleh Allah subhanahu wata’ala, samudra akan bergejolak terdorong ke depan (sama seperti kejadian dalam mobil yg direm). Seluruh airnya tumpah ke daratan. Manusia terlempar karena bumi "direm". Gunung ikut terlempar karena bumi yang memiliki kecepatan tinggi mendadak berhenti. Maka, seluruh peristiwa alam akibat berhentinya perputaran bumi akan menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Tadabbur ayat ini akan membawa kita untuk menyimpulkan bahwa kerusakan parah akibat berhentinya gerak bumi adalah boleh jadi adalah kiamat.

"Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian, sesungguhnya goncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). Pada hari itu ketika kalian melihat kegoncangan tersebut, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan semua wanita yang hamil dan kalian lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras."
(Al-Hajj: 1-2)
“Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak, dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang berterbangan), dan tidak ada seorang teman akrabpun menanyakan temannya”
 (QS. Al Ma’aarij:8-10)
“Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan, dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang berterbangan.”
(QS. Al Muzzammil:14)
“Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan.”
 (QS. Al Waaqi’ah:4-6)
“Pada hari ketika langit benar-benar bergoncang, dan gunung benar-benar berjalan. Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebathilan.”
 (QS. Ath Thuur:9-12)
            Beginilah seharusnya seorang guru fisika ketika mengajarkan teori geosentris-heliosentris, hukum newton, maupun kelajuan benda, tidak sekedar mencukupkan diri dengan mentransfer ilmu fisikanya, namun juga melengkapi penjelasannya dengan tadabbur surah An Naml ayat 88 ini. Sekedar mentransfer pengetahuan bahwa menurut Aristoleles bumi adalah pusat tata surya ataukah menurut Copernikus bahwa matahari adalah pusat tata surya, hukum newton adalah ini dan itu, rumus kelajaun benda adalah itu dan ini, ini hanya menjadi konsumsi otak, dan tak akan pernah menyentuh hati, menghadirkan kesadaran rohani. Berbeda jika penjelasan fisika lalu dilengkapi tadabbur ayat, selain melahirkan pemahaman di otak, juga akan menyentuh hati siswa karena langsung teringat dengan kebesaran Allah subhanahu wata’ala. Wallahu ta’ala a’lam.

Daftar Pustaka:
David R.Lide. 2000. Handbook of Chemistry and Physics.CRC. ISBN:0-8493-0481-4.
Giancoli, Dioglas C. 2001. Fisika. Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Hidayatullloh, Agus, Siti Irhamah Sail, Imam Ghazali Masykur. 2011. At   Thayyib, Al Qur’an     Transliterasi Per Kata dan Terjemah Perkata. Bekasi: Cipta Bagus Segara.
Katsir, Ibnu. 2014. Shohih Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.
Purwanto, Agus. 2015. Ayat-ayat Semesta Sisi-Sisi Al Quran Yang Terlupakan.     Bandung:         Mizan
Purwanto, Agus. 2012. Nalar Ayat-ayat Semesta.     Bandung: Mizan

Comments

Popular posts from this blog

Tidak Sekedar “Pulang Kampung” (Buletin Asy-Syabab Edisi 11)

Pemenang Quiz Buletin Asy-Syabab pada Edisi 11