Renungan Kehidupan (Buletin Asy-Syabab Edisi 8)
Renungan Kehidupan
Oleh: Abu Abdillah S
Bismillah
washsholatu wassalam ‘alla Rosulillah,
Saudaraku yang saya cintai karna Alloh. Izinkan saya menulis risalah yang
pendek ini sebagai bukti cintaku kepadamu wahai saudaraku, Rosululloh shollallohi alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik
‘Tidak beriman salah seorang dari
kalian hingga mencintai (kebaikan) untuk saudaranya seperti dia mencintai untuk
dirinya”. (muttafaq ‘alaih). Hadits ini
menjelaskan, hendaknya seorang muslim mencintai untuk saudaranya, apa yang dia
cintai untuk dirinya, serta membenci untuk saudaranya, apa yang dia benci untuk
dirinya. Karena orang yang mencintai niscaya dia
tidak akan rela melihat orang yang dicintainya jatuh kedalam kemaksiatan. Engkau
adalah saudaraku, yang Alloh Subhana Wa Ta’ala telah persaudarakan kita diatas agama Islam yang haq
ini. Agama yang dibawa oleh Nabiyullah Muhammad shollallohu ‘alaihi wassalam untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Agama yang
membawa kedamaian bagi hidup kita, Agama yang mengajarkan kasih sayang untuk
pemeluknya, Agama yang mana bila kita mengamalkanya dengan baik maka insya Alloh akan mendekatkan kita kepada
surga dan menjauhkan kita dari neraka.
Saudaraku, saya tidak merasa
lebih baik dari pada anda, maka nasehat ini
yang paling pertama menjadi nasehat buat saya pribadi, karna hakekat nasehat
itu yang paling pertama adalah kembali kepada yang menasehati, bukan kembali
kepada orang lain. Saya berharap agar anda ketika membacanya libatkanlah hati
anda, karna saya berharap tulisan ini masuk kedalam hati anda, yang mana dengan
izin Alloh Subhana Wa Ta’ala saya
berharap ini akan menggerakan hati kita untuk melangkah jauh lebih baik untuk
menggapai kehidupan yang bahagia di Dunia dan Akhirat, bukan hanya Dunia tapi juga
kehidupan Akhirat.
Alloh Subhana Wa Ta’ala berfirman “Sesungguhnya Dialah (Alloh) yang menciptakan
kematian dan kehidupan untuk menguji diantara kalian siapa yang paling baik
amalnya”. Sahabat yang mulia Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu ketika beliau menafsirkan ayatnya ini beliau berkata
“Alloh Subhana
Wa Ta’ala mendahulukan lafadz al maut (kematian) ketimbang al
hayah (kehidupan) karena dahulunya kita tidak ada (mati) kemudian Alloh
menciptakanya (hidup)”. al imam ibnu Katsir dalam tafsir beliau ketika
beliau menafsirkan ayat ini beliau berkata “
ketiadaan disebut maut (kematian) sedangkan penciptaan disebut dengan hayat
(kehidupan).
Perhatikanlah wahai saudaraku, Alloh
lah yang menciptakan kita dari ketiadaan menjadi ada dalam surah al-Mukminun
ayat 12 sampai 14 Alloh secara terperinci menyebutkan proses penciptaan manusia.
Alloh Subhana Wa Ta’ala berfirman “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati tanah(12). Kemudian Kami jadikan
itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh(rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah,lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu kami jadikan tulang-belulang lalu tulang belulang itu kami
bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Alloh,Pencipta yang paling baik (14). Setelah engkau membaca ayat diatas coba kita renungkan. Alloh Subhana Wa Ta’ala lah yang
menciptakan kita, dari ketiadaan menjadi ada.
Saya ingin bertanya kepada hati anda, bagaimana menurut anda jika ada seseorang yang ketika dia datang kesuatu daerah tanpa membawa bekal, tanpa keluarga didaerah tersebut, dia miskin dan tidak memiliki apa-apa, dia tidak memiliki tujuan sebab dia bingung dan tidak mengenal tempat tersebut, tiba-tiba datanglah seorang yang baik hati memberikan dia tempat tinggal, makanan, pakaian dan semua hal yang dibutuhkankannya tercukupi. Namun setelah sekian lama dia mendurhakai semua pertolongan yang telah diberikan kepadanya. Apakah dia orang yang baik? tentu jawabannya adalah tidak, lantas bagaimana dengan kita wahai saudaraku, bukankah Alloh Subhana Wa Ta’ala telah menciptakan kita dari ketiadaan menjadi ada, memberikan kita makanan, minuman, telinga, kaki, badan, tulang, kepala, akal, dan semua apa yang kita butuhkan, sedangkan kita begitu lalai dari beribadah kepada
Alloh, tidak menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan malah sebaliknya kita jalankan laranganNya dan kita tinggalkan perintahNya. Nikmat-nikmat yang telah diberikanNya tidak kita gunakan untuk mendekatkan kepadaNya, malah kita gunakan untuk melawanNya, celakalah kita celakalah jiwa yang berani melawan Dzat yang Maha Perkasa, al-Aziz. Adakah kemenangan yang akan kita peroleh dengan melawan Alloh Dzat Yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa, bukan kemenangan yang kita dapatkan tapi kenistaan dan adzab yang kita dapatkan.
Berapa tahun sudah kita hidup didunia
ini, 15, 20,
30, 40 tahun atau bahkan lebih, coba kita renungkan dari umur-umur kita yang
sudah kita lewati, berapa banyak kemaksiatan yang telah kita lakukan
dibandingkan dengan kebaikan yang telah kita lakukan, sedangkan kita tahu
kematian itu selalu mengikuti kita, dalam aliran darah kita, hembusan nafas
kita, dan dalam langkah-langkah kita maut selalu menyertai kita, ketika telah
tiba waktunya maka malaikat maut mencabut nyawa dari badan kita dan selesailah
sudah urusan kita dengan dunia yang tinggal hanya pertanggung jawaban kita
dihadapan Alloh Subhana Wa Ta’ala.
Mana yang anda pilih ketika
ada seseorang menyodorkan kepada anda 2 buah uang kertas, masing-masing uang
kertas tersebut senilai 10 ribu dan 100 ribu? kira- kira mana yang anda pilih? pasti kita akan memilih uang yang banyak nilainya yakni uang yang 100
ribu. Mengapa? karna kita tahu dan paham betul
bahwasanya nilai yang lebih besar akan memberikan kemanfaatan yang lebih besar.
Lantas bagaimana dengan
kehidupan kita, apakah kita akan mengorbankan kehidupan akhirat kita hanya
untuk kehidupan dunia ini yang berkisar 60 sampai 70 tahun bahkan kurang.
Sedangkan kehidupan akhirat itu adalah kehidupan yang abadi, berawal dan tidak
akan berakhir. Tentulah sebagai orang yang berakal kita akan memilih kehidupan
yang abadi, Alloh hanya menginginkan kita agar menahan sesaat saja, setelah
datang waktunya, maka kita siap berbuka dengan kenikmatan yang telah Alloh
janjikan, surga beserta isinya yang mana kenikmatan surga ini sangat banyak,
diantara kenikmatan yang telah Alloh janjikan ialah
Melihat wajah Alloh disurga
dan ini merupakan puncak
dari kenikmatan penghuni surga. As-syaikh Abdurrozzaq dalam kitab beliau fiqh
asma’ul husna beliau mengatakan tentang hal ini, beliau berkata “Seagung-agungnya
kenikmatan adalah mereka melihat ilah mereka, Robb mereka, Maha Penolong
mereka, Yang Maha Indah lagi Mulia Ta’ala. Oleh karena itu, sesungguhnya
kenikmatan ini merupakan karunia paling agung yang diberikan kepada mereka dan
kenikmatan yang dapat mereka raih. Itulah penyejuk mata, keindahan jiwa,
kebahagian hati, dan kejernihan wajah dan seagung-agungnya bentuk kemulian.
Kekal dan tidak fananya surga
As-syaikh Abdul halim bin
Muhammad nashshar as-salafi dalam buku beliau pesona surga menukil ucapan
Syaikh Hasan Ayyub dalam rihlatuh khuluud
“Alloh menciptakan surga dalam keadaan kekal, langgeng, dan abadi.
Tempat ini tidak akan rusak dan tidak akan hancur selamanya, dan orang yang masuk kedalamnya akan diberikan kenikmatan
abadi yang tidak pernah tergambarkan oleh umat manusia. Ia merupakan kenikmatan yang melebihi apa yang diimajinasikan dan
digambarkan oleh manusia.
Dan berbagai kenikmatan yang
lainnya, misal seperti permadani-permadani, bidadari , bejana-bejana yang
terbuat dari emas dan perak, gelang-gelang, pakaian-pakaian,ranjang-ranjang dan
kemah-kemah.
Saudaraku yang saya cintai
karna Alloh, itulah janji Alloh Subhana Wa Ta’ala yang
akan diberikan kepada orang-orang yang taat akan perintahNya. Sedangkan bagi
orang-orang yang ingkar dan taat kepadaNya maka Alloh Subhana Wa Ta’ala akan
mengadzabnya di neraka. Maka jalan mana yang akan anda pilih, jalan menuju
surga (kebahagian yang abadi) atau jalan menuju neraka (kesengsaraan yang
abadi). (wallohu a’lam bi as-shawab).
Maraji’:
1.
Terjemahan
al-Qur’an al karim,
2.
Terjemahan tafsir
Ibnu Katsi, al-Imam Ibn Katsir,
3.
Syarah al lulu’
wal marjan,
4.
Terjemahan fiqih
asma’ul husna, Syaikh Prof.DR.Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin,
5.
Terjemahan Pesona
surga, Syaikh Abdul Halim bin Nashshar as-Salafi.
Comments